Jumat, 04 Maret 2011
Senin, 21 Februari 2011
Refleksi Peranan Mahasiswa Dalam Sejarah
Generasi muda adalah penentu perjalanan bangsa di masa yang akan datang. Mahasiswa sebagai inti dari generasi muda, mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logika dan ‘kebersihan’-nya dari dosa politik orde baru.
Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan. Mahasiswa diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.
Nasionalisme tidak seperti bangunan statis, tetapi selalu dialektis dan interpretatif, sebab nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidupnya. Terbukti dalam sejarah Indonesia, kebangkitan rasa nasionalisme didaur ulang kembali oleh para mahasiswa dan pemuda, karena mereka merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya.
Nasionalisme Gelombang Pertama: Kebangkitan Nasional 1908
Berdasarkan sejarah, gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran Stovia, sekolahan anak para priyayi Jawa, di sekolah yang disediakan Belanda di Djakarta. Tahun dan nama organisasi sebagai tonggak kebangkitan nasional Indonesia, masih menjadi obyek perdebatan para ahli sejarah, karena Boedi Oetomo, tidaklah menasional organisasinya, tetapi hanya melingkupi Jawa saja. Jadi patut dipertanyakan sebagai tonggak kebangkitan nasional Indonesia.
Para mahasiswa kedokteran di Stovia, merasa muak dengan para penjajah, walaupun mereka sekolah di sekolah penjajah, dengan membuat organisasi yang memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat yang menderita.
Nasionalisme Gelombang Kedua: Soempah Pemoeda 1928
Setelah Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan, mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa negara jajahan yang belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu banyak mempengaruhi kalangan terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo ketika merumuskan konsep negara integralistik banyak menyerap pikiran Hegel. Bahkan, Soepomo terang-terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat, serta persatuan dalam negara seluruhnya.
Demikian pula, pada masa kini banyak diciptakan lagu-lagu kebangsaan yang sarat dengan muatan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri, dan sebagainya.
Selain Soepomo, Hatta, Sutan Syahrir pun sudah aktif berdiskusi tentang masa depan negaranya, ketika mereka masih belajar di benua Eropa, atas beasiswa politic-etis balas budi-nya penjajah Belanda. Mereka inilah di masa pra & pasca kemerdekaan yang nantinya banyak aktif berkiprah menentukan arah biduk kapal Indonesia.
Di dalam negeri sendiri, Soekarno sejak remaja, masa mahasiswanya bahkan setelah lulus kuliahnya, terus aktif menyuarakan tuntutan kemerdekaan bagi negerinya, lewat organisasi-organisasi yang tumbuh di awal abad 20. Soekarno menjadi penghuni langganan penginapan gratis di penjara Sukamiskin dan penjara-penjara yang lainnya.
20 tahun setelah kebangkitan nasional, kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam 1 negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh para pemoeda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan sebagainya, kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemoeda di tahun 1928.
Nasionalisme Gelombang Ketiga: Kemerdekaan 1945
Pada era nasionalisme gelombang ketiga , peran nyata para pemoeda yang menyandera Soekarno-Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dapat kita baca dari buku-buku sejarah. Kurang dari 20 tahun (hanya 17 tahun), sejak Soempah Pemoeda dikumandangkan, cita-cita mengisi kemerdekaan yang sudah banyak didiskusikan oleh Soekarno, Hatta, Soepomo, Syahrir, dan lainnya sejak mereka masih berstatus mahasiswa, harus mengalami pembelokan implementasi di lapangan. Karena Soekarno yang semakin otoriter dan keras kepala dengan cita-cita dan cara yang diyakininya.
Akhirnya Soekarno banyak ditinggalkan oleh para koleganya yang masih memegang idealismenya, dan mencapai puncaknya ketika Hatta, sebagai salah seorang proklamator, harus mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, karena tidak kuat menahan diri untuk terus menyetujui sikap dan tindakan sang Presiden yang semakin otoriter dan semau gue.
Nasionalisme Gelombang Keempat: Lahirnya Orde Baru 1966
Tepat 20 tahun setelah kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan G30S/PKI dan eksesnya. Tanpa peran besar mahasiswa dan organisasi pemuda serta organisasi sosial kemasyarakatan di tahun 1966, Soeharto dan para tentara tidak mungkin bisa ‘merebut’ kekuasaan dari penguasa Orde Lama Soekarno.
Tetapi sayang beribu sayang, penguasa Orde Baru mendepak para pemuda dan mahasiswa yang telah menjadi motor utama pendorong mobil Republik Indonesia yang mogok, sekaligus penggantian sopir dari Soekarno ke Soerharto. Bahkan sejak akhir tahun 1970-an para mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan dikungkung ke dalam ruang-ruang kuliah di kampus lewat NKK/BKK. Sebaliknya para tentara diguritakan ke dalam tatatan masyarakat sipil lewat dwifungsi ABRI.
Nasionalisme Gelombang Kelima: Lahirnya Orde Reformasi 1998
Bangunan rumah “Negara RI” dapat dijaga ketat dengan laras senapan ABRI lebih dari 20 tahun, yaitu hingga mencapai 1,5 kali lipatnya menjadi 32 tahun. Tetapi akhirnya goyah juga, walaupun bukan oleh gugatan para pemuda dan mahasiswa, tetapi oleh krisis moneter. Yang menyingkap kain penutup “bangunan” negara RI, sehingga menampakkan pilar-pilar penyangganya yang sudah demikian kropos, digerogoti oleh rayap-rayap yang menjadi begitu gemuk dan makmur lewat jejaring KKN.
Gelombang krisis moneter yang melanda Asia Tenggara, dimanfaatkan dengan baik oleh para mahasiswa dan pemuda, yang sudah termarjinalkan lewat laras ABRI, begitu muak melihat kenyataan bangunan RI. Para pemuda berhasil menjatuhkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Tetapi sayang, para penggantinya tak dapat menyatukan seluruh kekuatan bangsa. Bahkan para pengganti Soeharto cenderung lebih parah dalam menggerogoti pilar-pilar bangunan yang masih tersisa.
Nasionalisme Gelombang Keenam: 2008Ataukah 2018
Siklus gelombang nasionalisme 20 tahunan di Indonesia, di jaman orde baru dapat dihambat dengan kekuatan militer. Di orde reformasi sekarang ini, para pemuda dan mahasiwa perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam membangkitkan kembali nasionalisme gelombang keenam!
Pemilu 2004 belum banyak menghasilkan harapan perubahan, karena pengikut Orba masih lebih banyak dan lebih mendominasi dari pada pendukung reformasi. Nasionalisme yang perlu diwujudkan di gelombang keenam ini adalah bukan nasionalisme di gelombang-gelombang sebelumnya. Kita harus memilih nasionalisme yang humanis dan dapat menjadi rekan sejawat demokrasi. Tentu saja dalam konteks ini gagasan nasionalisme gelombang keenam ini tidak dapat dibebankan pada pundak pejabat negara, perwira militer, atau kalangan intelektual saja, tetapi juga perlu mendengar dan merekam suara masyarakat akar rumput yang selama ini tidak tersuarakan.
Dalam setiap “revolusi” nasionalisme, peran pemuda dan mahasiswa tak pernah absen. Tetapi selama ini peran mereka hanya sebatas ‘menurunkan dan mengganti sopir’, kemudian mendorong mobil Indonesia hingga bisa jalan lagi, saat sopir baru perlu adaptasi mengemudi, karena sering tak pernah berpengalaman nyopir negara.
Setelah mobil jalan, mereka ketinggalan dalam cucuran keringat, kehabisan tenaga bercampur dengan asap knalpot mobil yang sudah melesat jauh meninggalkannya. Mau tidak mau, pergantian pemegang tongkat estafet generasi pasti terjadi. Dan hanya mereka yang berpengalaman profesional saja-lah yang akan dapat membangun kembali bangunan rumah Indonesia menjadi lebih baik, melindungi dan menyejahterakan seluruh penghuninya, menuju masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin, sebagai perwujudan nasionalisme gelombang keenam.
Peranan mahasiswa dalam sejarah bangsa, secara nyata terbukti pada saat mahasiswa tampil sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Tampilnya mahasiswa telah cukup banyak memberikan sumbangan berarti dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru misalnya, berawal dari kehendak dan kemauan kuat mahasiswa untuk memperjuangkan nasib bangsa Indonesia yang telah sekian lama berada di bawah kekuasaan otoriter dan represif. Apa yang diusung oleh mahasiswa pada saat itu merupakan representasi seluruh kepentingan rakyat Indonesia yang telah mengalami pahitnya pemerintahan Orde Baru.
Dalam setiap perjuangannya, mahasiswa mesti selalu berpegang teguh pada nilai-nilai di atas. Melalui kemampuan intelektualnya yang dimiliki mahasiswa mengakomodasi harapan dan idealisme masyarakat yang kemudian terbentuk dalam ide-ide atau gagasannya. Ide dan gagasan itu merupakan kontribusi paling bermakna dalam cita-cita pembaruan dalam konteks kebangsaan. Kekuatan inilah yang menjadi semangat dasar perjuangan pemuda / mahasiswa yang telah melahirkan ide-ide sumpah pemuda.
Kedua, sumpah pemuda juga telah membawa misi tentang kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Semangat persatuan dan kesatuan merupakan semangat yang mencirikan sekaligus mendasari gerakan sumpah pemuda. Para mahasiswa pada waktu itu telah merasakan gagalnya perjuangan yang bersifat parsial-kedaerahan, karena itu usaha menggalang persatuan dan kesatuan seluruh elemen masyarakat merupakan sebuah keharusan.
Kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan itu kemudian terungkap secara simbolis dalam tiga butir rumusan sumpah pemuda; tanah air yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa yang satu, yakni Indonesia. Sudah sejak lama, kaum muda/mahasiswa menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam meraih serentak mempertahankan kemerdekaan.
Pemuda / mahasiswa pada masa itu telah berhasil membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan bagi segenap rakyat Indonesia yang secara faktual-obyektif terdiri dari pluralitas suku, ras, agama, budaya dan bahasa. Perjuangan mahasiswa era “sumpah pemuda” telah berhasil mempersatukan pandangan dan aksi segenap masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan.
Keberhasilan mahasiswa di era pra-kemerdekaan, yang juga muncul pada gerakan-gerakan selanjutnya, misalnya gerakan reformasi 1998, tentu masih menyisakan pertanyaan tentang masa depan perjuangan yang mesti dijawab oleh mahasiswa zaman ini. Masa depan perjuangan itu terangkai dalam perjuangan mengatasi pelbagai tantangan bangsa.
Menurut F.Magnis Suseno, tantangan bangsa terangkum dalam tiga pokok persoalan. Pertama, tantangan untuk mempertahankan negara kesatuan. Kedua, tantangan untuk mewujudkan solidaritas-keadilan sosial. Ketiga, tantangan untuk mewujudkan demokrasi, di dalam negara hukum yang menghormati HAM (VOX Seri 44/1,2/2000).
Tantangan bangsa ini menuntut mahasiswa untuk tampil pada garda terdepan sebagai agen pembaharu. Kesadaran akan wawasan kebangsaan mengharuskan mahasiswa berjuang secara holistik, menyeluruh dalam perspektif kerakyatan, solidaritas, dan keadilan sosial. Apa yang menjadi spirit perjuangan mahasiswa “sumpah pemuda” mestinya juga mewarnai setiap gerak langkah perjuangan mahasiswa sekarang dalam menjawab persoalan bangsa Indonesia.
Mahasiswa yang telah mengukir kesuksesan pada awal pergerakan kemerdekaan kembali diminta peranan dan tanggung jawabnya. Mereka yang telah terbukti menampilkan perannya sebagai agen perubahan dalam masyarakat ditantang untuk menghidupi semangat yang sama dalam menjawabi setiap persoalan yang ada. Karena itu, mahasiswa mestinya merasa dipanggil untuk menyelamatkan situasi bangsa yang kian bobrok ini.
Apa yang menjadi ciri khas perjuangan mahasiswa “sumpah pemuda” mestinya juga menjadi bagian dari perjuangan mahasiswa masa sekarang.
Mahasiswa adalah sosok intelektual yang menduduki posisi dan peran khusus dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Posisi dan peran khusus itu selain dimungkinkan oleh kepemilikan pengetahuan yang luas juga oleh kepemilikinan nilai-nilai dasar yang menjadi landasan jati diri intelektualnya. Pengetahuan dan nilai-nilai dasar itu hendaknya dibuktikan dalam setiap teladan hidup dan perjuangan mahasiswa.
Seorang mahasiswa mestinya memiliki pengetahuan yang luas untuk bisa mengkritisi perbagai ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Karena itu, minat baca yang tinggi dan kebiasaan untuk melakukan refleksi kritis terhadap perbagai fenomena yang muncul amatlah dianjurkan dan mesti menjadi menu harian para mahasiswa.
Adalah sebuah ironi besar bahkan sebuah penyangkalan terhadap jati dirinya sendiri apabila mahasiswa asing dari buku-buku yang memuat segudang ilmu pengetahuan dan asing dari realitas masyarakat sekelilingnya. Mahasiswa mestinya memiliki semangat untuk mencari dan memiliki ilmu pengetahuan. Namun, akumulasi pengetahuan yang diperoleh dalam bangku kuliah itu pada mestinya selalu diaplikasikan dalam setiap konteks persoalan masyarakat. Kiprah seorang mahasiswa tidak hanya terbatas dalam tembok-tembok kampus atau dalam bangku kuliah tetapi senantiasa digemakan keluar terutama dalam menjawab setiap persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
Mahasiswa mestinya mampu menangkap perbagai fenomena timpang yang terjadi di sekitarnya, untuk kemudian dikritisi dan dicari alternatif atau solusi atasnya. Pemanfaatan inteligensi yang tinggi seperti yang telah mendasari perjuangan mahasiswa era pra-kemerdekaan, mestinya juga mendasari perjuangan mahasiswa saat ini. Karena itu, kebiasaan-kebiasaan yang tidak menunjukkan pemanfaatan inteligensi atau berada di luar ciri jati diri intelektualitasnya mestinya ditinggalkan.
Fenomena absurditas intelektual, keterlibatan dalam praktik kekerasan dan pelanggaran HAM, pesta pora dan hedonisme, gaya hidup konsumtif, seks bebas, lemahnya minat membaca dan berdiskusi, kurangnya minat belajar, serta rendahnya minat berorganisasi yang sekarang ini menjadi ciri kehidupan para mahasiswa umumnya, mestinya ditinggalkan jauh-jauh.
Mahasiswa pada hakikatnya memiliki kemampuan yang khas dan unik yang sulit ditemukan pada anggota masyarakat kebanyakan. Kekhasan itu justru terletak pada nilai-nilai dasar yang menjadi landasan jati diri intelektualitasnya, dan nilai-nilai itu amat inheren dalam identitasnya sebagai seorang mahasiswa. Dunia mahasiswa adalah dunia akademik yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar seperti kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, dan objektivitas.
Yang diharapkan dari mahasiswa adalah upaya perealisasian nilai-nilai dasar tersebut dalam setiap kiprahnya dalam lembaga pendidikan dan terutama di tengah masyarakat. Perealisasian nilai-nilai dasar itu selain melalui sikap dan teladan hidup hariannya, juga mesti direalisasikan dalam setiap upaya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.
Perjuangan mahasiswa, dalam aksi demonstrasi misalnya, hendaknya bukan dilandasi oleh sikap primordial-kedaerahan, atau demi keuntungan eksklusif orang atau kelompok tertentu, melainkan demi menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Hanya dengan ini mahasiswa mampu menghidupkan kembali rasa persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Nilai-nilai universal kemanusiaan adalah nilai-nilai yang senantiasa didambakan oleh setiap orang. Nilai-nilai itu dapat mempersatukan dan membangun solidaritas semua orang. Mahasiswa dipanggil untuk mewujudkan itu ditengah masyarakat. Peringatan hari Sumpah Pemuda tahun ini, hendaknya menjadi momen refleksi dan momen pembaharuan bagi mahasiswa dalam upaya menghidupkan kembali semangat dasar yang telah ditanamkan oleh pendahulu mereka di masa pra-kemerdekaan.
Ina Kencanawati, Mahasiswa Jurusan Sejarah Univeristas Negeri Yogyakarta.